Marak Akhiri Hidup Di Kalangan Pelajar, Solusi Sistemis Urgen Dilakukan

infopriangan.com, TELISIK OPINI. Fenomena akhiri hidup dikalangan generasi muda terutama para pelajar semakin marak saja. Terkini, percobaan bunuh diri dilakukan oleh siswi SMAN 3 Kota Bandung yang dilaporkan jatuh dari lantai tiga bangunan sekolah.

Percobaan bunuh diri siswi di Bandung ini menambah deretan panjang kasus bunuh diri di Indonesia. Pasalnya, berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI (Polri), ada 971 kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang periode Januari hingga 18 Oktober 2023.

IMG-20240923-WA0094
IMG-20240923-WA0094

Angka itu bahkan sudah melampaui kasus bunuh diri sepanjang 2022 (900 kasus). Kasus bunuh diri paling banyak ditemui di perumahan atau permukiman (741 kasus), kemudian di perkebunan (104 kasus), dan persawahan (18 kasus). ( Katadata, 18-10-2023).

Sungguh, memprihatinkan banyak generasi muda bermental rapuh hingga memilih mengakhiri hidup sebagai jalan keluar atas permasalahan yang dihadapi. Fenomena ini tentu tidak bisa dianggap sebelah mata, karena masa depan bangsa tengah dipertaruhkan.

Menelisik fakta, ada banyak faktor yang melatarbelakangi seseorang memilih untuk bunuh diri. Salah satu faktor terbanyak adalah depresi karena persoalan hidup yang tidak kunjung usai. Makin banyaknya pemuda mengakhiri hidup sesungguhnya menggambarkan realitas generasi hari ini yang lemah dan rapuh.

Mereka juga menjadi generasi yang mudah menyerah dalam menghadapi gelombang kehidupan. Alhasil, sikap putus asa, hopeless, stres, hingga depresi, menjadi penyakit mental yang mudah menghinggap dalam kehidupan mereka. Mereka berpikir dengan mengakhiri hidup, semua beban masalah dan mental mereka akan terlepas dan berakhir.
Mengapa generasi kita menjadi seperti ini? Faktor utamanya ialah penerapan sistem sekuler kapitalisme yang tidak mampu mewujudkan generasi kuat dan tangguh. Sistem ini mengeliminasi peran tiga pilar pembentuk generasi.

Pertama, keluarga. Generasi yang memiliki mental rapuh kebanyakan dialami oleh mereka yang lahir dan besar di lingkungan keluarga broken home, fatherless, motherless, atau hidup berjauhan dengan orang tua. Belakangan ini, ramai perbincangan terkait Indonesia yang disebut sebagai negara fatherless ketiga terbanyak di dunia. Orang tua ada, tetapi kehadiran mereka seperti tidak ada. Anak tidak merasakan peran dan kehadiran ayah atau ibunya, baik secara fisik maupun psikis.

Kedua, sekolah dan masyarakat. Kurikulum pendidikan yang berlaku hari ini adalah kurikulum sekuler yang menjauhkan manusia dari aturan Allah Taala. Hasilnya, generasi kita terdidik dengan cara pandang kapitalisme sekularisme. Standar kebahagiaan hidup tertinggi adalah meraih sebanyak-banyaknya materi dan kesenangan duniawi. Ketika mereka gagal meraihnya, depresi menjadi hal yang tidak terhindarkan. Perilaku mereka tidak lagi terkendali dalam standar halal-haram. Masyarakat yang terbentuk adalah individualis kapitalistik.

Ketiga, peran negara. Remaja dan pemuda merupakan salah satu kelompok yang paling rentan terhadap perilaku bunuh diri. Salah satu hal yang juga harus diperhatikan dari kasus bunuh diri adalah terjadinya copycat suicide, tindakan bunuh diri yang dilatarbelakangi ingin meniru kasus bunuh diri sebelumnya. Contohnya, kasus puluhan pelajar SMP di Bengkulu yang melukai lengan kirinya dengan benda tajam. Usut punya usut, mereka melakukan itu karena mengikuti tren di media sosial. Mereka mengalami krisis identitas sehingga tidak mampu menyaring mana yang harus jadi panutan dan mana yang tidak layak dijadikan teladan.

Pada era digital, internet telah menjadi sumber utama informasi yang memberikan penggambaran tidak pantas mengenai bunuh diri dan masalah kesehatan mental. Apalagi jika melihat tayangan/tontonan yang mengangkat perihal bunuh diri. Media berperan sangat signifikan dalam menciptakan lingkungan kondusif bagi pertumbuhan kesehatan jiwa tiap individu.

Hal ini membutuhkan peran negara dalam melakukan kontrol dan pengawasan terhadap media dalam menyebarkan informasi dan tontonan. Melalui media, negara harus menciptakan suasana iman, tontonan yang menuntun pada ketaatan, bukan yang mengarah pada kemaksiatan.

Tidak jarang, generasi muda banyak meniru gaya hidup sekuler liberal lewat tayangan yang mereka tonton sehari-hari tanpa filter yang benar. Di sinilah peran negara terkesan mandul untuk sekadar bersikap tegas terhadap muatan film atau tayangan bernuansa sekuler liberal.

Walhasil, peran negara sebatas membatasi akses konten, tetapi akar masalahnya, yakni pemikiran dan gaya hidup kapitalisme sekuler, justru tidak dihilangkan. Sedangkan akibat gempuran pemikiran inilah generasi kita memiliki mental dan kepribadian rapuh dan lemah. Mereka kerap dijejali dengan kesenangan sesaat hingga lupa cara menjalani hidup dan menyelesaikan masalah dengan cara pandang Islam.

Tersebab masalah mengakhiri hidup dipengaruhi problem sistemis, untuk menyelesaikannya juga harus dilakukan secara sistemis. Islam adalah solusi persoalan hidup. Tidak ada manusia hidup tanpa masalah dan tidak ada masalah tanpa ada solusinya. Bagaimana mekanisme Islam mencegah bunuh diri?

Pertama, menanamkan akidah Islam sejak dini pada anak-anak. Dengan penancapan akidah yang kuat, setiap anak akan memahami visi dan misi hidupnya sebagai hamba Allah Taala, yakni beribadah dengan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Prinsip ini harus dipahami bagi seluruh keluarga muslim sebab orang tua adalah pendidikan pertama bagi anak-anaknya. Negara akan membina dan mengedukasi para orang tua agar menjalankan fungsi pendidikan dan pengasuhan sesuai akidah Islam.

Kedua, menerapkan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam. Sejarah Islam telah membuktikan bahwa kurikulum pendidikan Islam mampu melahirkan generasi kuat imannya, tangguh mentalnya, dan cerdas akalnya. Negara akan mengondisikan penyelenggaraan pendidikan yang bertujuan untuk membentuk syahsiah Islam terlaksana dengan baik. Generasi harus memiliki pola pikir dan pola sikap yang sesuai syariat Islam. Dengan begitu, mereka akan memiliki bekal menjalani kehidupan dan mengatasi persoalan yang melingkupinya dengan cara pandang Islam.

Ketiga, memastikan para ibu menjalankan kewajibannya dengan baik. Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Kaum ibu dalam sistem Islam akan diberdayakan sebagai ibu generasi peradaban, bukan mesin ekonomi seperti halnya dalam sistem kapitalisme yang malah menghadapkan para ibu pada persoalan ekonomi dan kesejahteraan.

Negara akan menetapkan kebijakan ekonomi yang mampu menyerap banyak tenaga kerja dari kalangan laki-laki. Alhasil, peran ayah dan ibu dalam keluarga dapat berjalan seimbang seiring pemenuhan kebutuhan pokok yang dijamin negara.

BACA JUGA: Monitoring PAS di Cisompet Garut Dipertanyakan

Penerapan sistem Islam kafah yang paripurna akan membentuk individu bertakwa, masyarakat yang gemar berdakwah, dan negara yang benar-benar mengurus rakyatnya. Dengan begitu, masalah bunuh diri akan tuntas karena setiap individu muslim dapat memahami hakikat dan jati dirinya sebagai hamba dengan menjadikan Islam sebagai the way of life.

Ketika Islam menjadi jalan hidup bagi setiap muslim, tidak aka nada generasi yang sakit mentalnya, mudah menyerah, atau gampang putus asa. Mereka akan menjadi generasi terbaik dengan mental sekuat baja dan kepribadian setangguh para pendahulunya. (Lilsi Suryani)

Bagikan dengan :
IMG-20240923-WA0094
IMG-20240923-WA0094
IMG-20240923-WA0094
IMG-20240923-WA0094
previous arrow
next arrow

Tinggalkan Balasan

error: Konten terlindungi. Anda tidak diizinkan untuk menyalin berita infopriangan