Kenaikan PPN 12% Berlaku Januari 2025, Ini Dampaknya
infopriangan.com, TELISIK OPINI. Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini disebut sebagai bagian dari upaya meningkatkan pendapatan negara, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, dan menyesuaikan dengan standar internasional.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa kenaikan ini juga diiringi dengan kebijakan pembebasan PPN untuk listrik dan air bersih dengan total nilai Rp14,1 triliun.
Lebih rinci, pemerintah membebaskan PPN listrik sebesar Rp12,1 triliun, kecuali untuk pelanggan dengan daya 6.600 Volt Ampera (VA) ke atas. Sementara itu, pembebasan PPN untuk air bersih mencapai dua triliun. Selain itu, diskon tarif listrik sebesar 50% juga akan diberikan kepada pelanggan dengan daya 2.200 watt ke bawah, meski hanya berlaku selama Januari hingga Februari 2025.
Namun, berbagai kalangan menilai kebijakan ini hanya bersifat sementara dan tidak cukup untuk menutupi dampak dari kenaikan PPN yang akan dirasakan masyarakat kelas menengah dan kecil.
Kenaikan tarif PPN, meski terlihat kecil secara persentase, memiliki dampak yang cukup signifikan bagi harga barang dan jasa secara keseluruhan. Pada akhirnya, beban ekonomi akan kembali ditanggung oleh masyarakat.
Bantuan sosial (bansos) dan subsidi yang ditawarkan pemerintah dianggap hanya sebagai solusi tambal sulam yang tidak menyentuh akar persoalan ekonomi.
Para pengamat ekonomi menilai bahwa bansos sering kali dijadikan alat untuk meredam keresahan publik tanpa adanya langkah konkret untuk memperbaiki struktur ekonomi yang lebih berkelanjutan. Selain itu, efektivitas bansos sering dipertanyakan, terutama terkait distribusi yang tidak merata dan rawan penyalahgunaan.
Penting untuk dipahami bahwa kebijakan fiskal, termasuk kenaikan pajak, seharusnya diiringi dengan transparansi dalam pengelolaan pendapatan negara.
Rakyat perlu tahu untuk apa uang pajak mereka digunakan dan bagaimana dampaknya terhadap pembangunan yang berkelanjutan. Sayangnya, kepercayaan publik terhadap pengelolaan dana publik masih rendah karena kasus korupsi dan penyalahgunaan anggaran yang sering kali mencuat ke permukaan.
Di sisi lain, banyak pihak melihat bahwa kebijakan ekonomi yang berlandaskan sistem kapitalistik cenderung memprioritaskan keuntungan bagi segelintir kelompok elite dibanding kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Sistem ini sering kali membuka peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk memonopoli sumber daya, sementara masyarakat kecil harus berjuang untuk bertahan di tengah tekanan ekonomi yang semakin berat.
Sebagai perbandingan, dalam perspektif sistem ekonomi Islam, negara bertanggung jawab penuh atas pengelolaan sumber daya alam dan hasilnya wajib dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat. Dalam sistem ini, pajak bukanlah sumber utama pendapatan negara, melainkan hanya sebagai instrumen yang digunakan dalam kondisi darurat.
Pendapatan utama negara dalam sistem ini bersumber dari pengelolaan aset publik seperti tambang, minyak, dan gas bumi, yang dikelola secara transparan dan berkeadilan.
Sistem ekonomi Islam juga menekankan pentingnya kepemimpinan yang adil, amanah, dan bertanggung jawab.
Seorang pemimpin dituntut untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tidak hanya menguntungkan satu pihak, tetapi benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat secara menyeluruh.
Pemimpin juga harus bertanggung jawab di hadapan Tuhan dan rakyat atas setiap keputusan yang diambil.
Kenaikan PPN pada dasarnya tidak akan menjadi masalah besar jika diimbangi dengan perbaikan tata kelola fiskal dan distribusi bansos yang tepat sasaran. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pajak menjadi kunci agar masyarakat dapat menerima kebijakan ini dengan lebih terbuka.
Selain itu, pemerintah perlu memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil mampu memberikan dampak positif jangka panjang, bukan sekadar meredam gejolak sementara.
BACA JUGA: Gunung Nagara Terbengkalai, Dulu Sempat Viral
Jika hal-hal tersebut tidak dipenuhi, maka kenaikan PPN hanya akan menambah beban hidup masyarakat, sementara manfaat dari bansos dan subsidi hanya akan terasa dalam waktu singkat.
Pada akhirnya, yang dibutuhkan masyarakat bukan sekadar kebijakan populis, tetapi reformasi struktural yang mampu menciptakan kesejahteraan yang merata dan berkelanjutan. (Sani)


